Janji Setia Seorang Muslim

0 komentar

عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ: بَايَعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى إِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَالنُّصْحِ لِكُلِّ مُسْلِمٍ
Dari Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku telah mengucapkan ba’iat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan bersikap nush (berniat baik) bagi setiap muslim.”
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu meriwayatkan hadits ini melalui jalan Musaddad, dari Yahya, dari Ismail, dari Qais bin Abi Hazim, dari Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu.
Nama lengkap Musaddad adalah Musaddad bin Musarhad bin Musarbal bin Mustaurad Al-Asadi Abul Hasan Al-Bashri. Musaddad sendiri adalah sebuah gelar, adapun nama beliau adalah Abdul Malik bin Abdul ‘Aziz.


Yahya adalah Yahya bin Sa’id Al-Qaththan.
Ismail adalah Ismail bin Abi Khalid.
Dalam riwayat Al-Bukhari yang lain ada penambahan lafadz yaitu, “Aku telah mengucapkan bai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bersyahadat Laa Ilaaha Illallah wa Anna Muhammadan Rasulullah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, mendengar dan taat, serta bersikap nush bagi setiap muslim.”
Jarir berasal dari daerah yang bernama Bajal. Demikian juga Qais bin Abi Hazim dan Ismail bin Abi Khalid. Ketiganya berkunyah Abu ‘Abdillah.
Adapun Al-Imam Muslim rahimahullahu meriwayatkan hadits ini dari Abu Bakr bin Abi Syaibah, dari Abdullah bin Numair dan Abu Usamah, dari Ismail bin Abi Khalid, dari Qais, dari Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu. An-Nawawi rahimahullahu menjelaskan bahwa sanad hadits ini seluruhnya dari perawi Kufi (berasal dari Kufah).
Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu meriwayatkan hadits ini dari Muhammad bin Basyar, dari Yahya bin Sa’id, dari Ismail, dari Qais, dari Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu.

Para peneguh janji
Sebagai bentuk kesempurnaan seorang muslim, kita harus mengenal sejarah kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mempelajari kehidupan beliau sebelum diangkat menjadi nabi dan sesudahnya. Mempelajari ciri-ciri khalqiyyah (fisik) sekaligus khuluqiyyah (akhlak) beliau. Membaca dan memahami petunjuk hidup yang beliau wariskan dengan keyakinan kuat bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk hidup Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, untuk kemudian diamalkan tentunya. Karena sejarah hidup Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam penuh dengan hikmah, ibrah, serta pelajaran-pelajaran penting bagi hamba yang hendak meraih kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat.
Di antara peristiwa penting yang terjadi di dalam sejarah kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pengucapan bai’at, yakni janji setia yang diucapkan oleh sahabat, sebagai manusia-manusia pilihan di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, untuk melaksanakan sesuatu atau meninggalkan satu hal. Janji-janji kebaikan yang diucapkan oleh generasi terbaik di hadapan manusia terbaik di dunia. Janji-janji itu tidak hanya berlaku dan diamalkan oleh para sahabat saja. Tetapi janji-janji itu pun harus diamalkan oleh setiap muslim yang ingin mengikuti jejak generasi terbaik umat ini.
Sejarah telah mencatat sekian banyak janji setia setiap muslim dengan para sahabat sebagai barisan yang terdepan. Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu meriwayatkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma tentang bai’at untuk selalu bersikap sabar. Al-Bukhari juga meriwayatkan hadits Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu ‘anha tentang janji setia setiap muslim untuk tidak mempersekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak meratapi kematian seseorang. Al-Bukhari dan Muslim rahimahumallah meriwayatkan hadits Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu tentang janji setia setiap muslim untuk senantiasa bersikap taat dan mendengar terhadap penguasa dalam keadaan apapun. Ada juga hadits Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu yang menyebutkan:
باَيَعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي رَهْطٍ فَقَالَ: أُبَايِعُكُمْ عَلَى أَنْ لَا تُشْرِكُوا بِاللهِ شَيْئًا وَلَا تَسْرِقُوا وَلَا تَزْنُوا وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ وَلَا تَأْتُوا بِبُهْتَانٍ تَفْتَرُونَهُ بَيْنَ أَيْدِيكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ وَلَا تَعْصُونِي فِي مَعْرُوفٍ فَمَنْ وَفَى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ عَلَى اللهِ وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَأُخِذَ بِهِ فِي الدُّنْيَا فَهُوَ لَهُ كَفَّارَةٌ وَطُهُورٌ وَمَنْ سَتَرَهُ اللهُ فَذَلِكَ إِلَى اللهِ إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ
Aku mengucapkan bai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama beberapa sahabat yang lain. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku membai’at kalian untuk tidak mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang kalian ada-adakan antara tangan dan kaki kalian serta tidak akan mendurhakai diriku dalam urusan yang baik. Maka barangsiapa memenuhi janji-janji ini niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberi pahala untuknya. Dan barangsiapa yang melanggar janji-janji ini kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menghukumnya di dunia maka hukuman itu adalah kaffarah dan pembersih dirinya. Barangsiapa yang pelanggarannya ditutupi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala maka urusannya kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, jika Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki ia akan diazab dan jika Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki ia akan diampuni.”
Seluruh bai’at yang telah diucapkan sahabat di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak hanya berlaku bagi mereka saja. Bai’at-bai’at tersebut sekaligus warisan yang harus diteguhkan dan diwujudkan oleh setiap muslim yang hidup setelah mereka sebagai janji setia. Janji setia yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena janji setia kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bentuk janji setia kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللهَ يَدُ اللهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَنْ نَكَثَ فَإِنَّمَا يَنْكُثُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا

“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.” (Al-Fath:10)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu berkata di dalam Syarah Riyadhus Shalihin, “Apabila seorang sahabat mengucapkan bai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan sesuatu maka hal itu tidak hanya berlaku khusus terhadap sahabat tersebut. Bentuk bai’at itu berlaku secara umum untuk seluruh kaum muslimin. Maka seluruh kaum muslimin memiliki beban bai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bersikap nush kepada sesama muslim, termasuk juga untuk menegakkan shalat dan menunaikan zakat.”

Makna hadits
Asy-Syaikh Muhammad Al-‘Utsaimin rahimahullahu menjelaskan bahwa tiga hal yang disebutkan di dalam hadits ini sesungguhnya menunjukkan bahwa kewajiban setiap muslim terbagi menjadi tiga macam. Terkait dengan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala murni, hak manusia murni, dan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala sekaligus hak manusia.
Adapun hak Allah Subhanahu wa Ta’ala murni adalah penegakan shalat. Yang dimaksud dengan penegakan shalat adalah melaksanakan shalat sesuai dengan tuntunan syariat dengan memerhatikan waktu pelaksanaannya, rukun-rukun, syarat-syarat, dan kewajiban-kewajiban shalat. Lalu berusaha untuk menyempurnakannya dengan hal-hal yang mustahab (sunnah).
Bagi laki-laki, sebagai bentuk penegakan shalat adalah melaksanakannya secara berjamaah di masjid. Barangsiapa meninggalkan jamaah tanpa udzur maka ia telah berdosa. Bahkan sebagian ulama seperti Syaikhul Islam rahimahullahu berpendapat bahwa shalat orang yang meninggalkan jamaah tanpa udzur maka shalatnya batil, tidak sah dan tidak diterima. Akan tetapi mayoritas ulama berpendapat bahwa shalatnya tetap sah dan ia berdosa. Pendapat inilah yang pendapat yang benar. Sehingga yang meninggalkan jamaah tanpa udzur maka shalatnya tetap sah namun ia mendapatkan dosa. (Syarah Riyaadhus Shalihin)
Ibadah shalat adalah bentuk kedekatan seorang hamba dengan Sang Pencipta. Dengan shalat ia akan bermunajat di hadapan-Nya, berkeluh kesah, meminta dan berharap. Alangkah indahnya hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim rahimahullahu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
قَالَ اللهُ تَعَالَى: قَسَمْتُ الصَّلاَةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ؛ فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ: الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِين؛ قَالَ اللهُ تَعَالَى: حَمِدَنِي عَبْدِي؛ وَإِذَا قَالَ: الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ؛ قَالَ اللهُ تَعَالَى: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي؛ وَإِذَا قَالَ: مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ؛ قَالَ: مَجَّدَنِي عَبْدِي -وَقَالَ مَرَّةً: فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي- فَإِذَا قَالَ: إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ؛ قَالَ: هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ. فَإِذَا قَالَ: اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ؛ قَالَ: هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ
Allah berfirman: “Aku membagi shalat (surat Al-Fatihah) menjadi dua bagian, untuk Aku dan untuk hamba-Ku. Dan untuk hamba-Ku apa yang ia minta.” Apabila seorang hamba mengucapkan, “Alhamdulillah Rabbil ‘Alamin”, maka Allah berfirman, “Hamba-Ku telah memuji-Ku.” Apabila hamba-Ku mengucapkan, “Ar-Rahmaan Ar-Rahiim”, maka Allah berfirman, “Hamba-Ku benar-benar telah menyanjung-Ku.” Apabila hamba tersebut mengucapkan, “Maaliki yaumiddiin.” Maka Allah berfirman, “Hamba-Ku telah memuliakan Aku.” Apabila hamba itu mengucapkan, “Iyyaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin.” Maka Allah berfirman, “Yang ini antara Aku dan hamba-Ku dan untuk hamba-Ku apa yang ia minta.” Jika hamba tersebut mengucapkan, “Ihdinash shiraatal mustaqiim, shiraatal ladziiina an’amta ‘alaihim ghairil maghduubi ‘alaihim waladh dhaalliin.” Maka Allah berfirman, “Yang ini antara Aku dan hamba-Ku dan untuk hamba-Ku apa yang ia minta.”
Shalat benar-benar penting dalam kehidupan seorang muslim. Karena shalat adalah barometer amalannya yang lain. Bila shalatnya baik tentu amalannya yang lain pun baik, jika shalatnya buruk pasti buruk pula amalannya yang lain. Di masa Ahlul Hadits, setiap penuntut ilmu hadits akan melihat shalat orang yang akan diangkatnya menjadi guru. Apabila shalatnya baik maka ia akan menimba ilmu darinya, namun jika shalatnya buruk ia akan ditinggalkan.
Abu Dawud rahimahullahu meriwayatkan sebuah hadits yang dishahihkan oleh Al-Albani dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya amalan hamba yang pertama kali akan dihisab pada hari kiamat nanti adalah shalat. Allah berfirman kepada para malaikat, dan Allah Maha mengetahui, ‘Lihatlah shalat hamba-Ku, sempurna ataukah kurang?’ Jika shalatnya sempurna maka akan dicatat dengan sempurna pula, bila kurang demikian pula akan dicatat kurang. Lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Perhatikanlah shalat-shalat sunnah hamba-Ku, jika ia memiliki amalan shalat sunnah maka jadikanlah penyempurna shalat wajibnya.’ Kemudian amalan-amalan kalian akan diambil dengan hal tersebut.”
Demikian juga hadits lain yang diriwayatkan oleh Ath-Thabarani rahimahullahu dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الصَّلَاةُ، فَإِنْ صَلَحَتْ صَلَحَ لَهُ سَائِرُ عَمَلِهِ وَإِنْ فَسَدَتْ فَسَدَ سَائِرُ عَمَلِهِ
“Amalan hamba yang pertama kali akan dihisab pada hari kiamat nanti adalah shalat. Apabila shalatnya baik tentu seluruh amalannya yang lain pun baik. Tetapi bila shalatnya jelek maka seluruh amalannya pun tentu jelek.” (Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah 3/343)
Hamba yang gemar kebaikan akan merasa tenang dan damai ketika ia dalam keadaan shalat, terlebih dalam keadaan sujud karena puncak kedekatan hamba dengan Rabb-Nya di saat ia sujud. Adapun hamba yang lalai akan terasa berat untuk menegakkan shalat. Shalat yang ia senangi adalah shalat yang paling cepat. Ketika dalam keadaan shalat, ia merasa sedang berdiri di atas bara api.
Untuk mewujudkan shalat yang khusyu’ harus dilandaskan keikhlasan dan mutaba’ah, yaitu sesuai dengan bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga tugas setiap muslim adalah mewujudkan janji setianya untuk menegakkan shalat dengan mempelajari tuntunan shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadits-hadits yang terkait dengan pelaksanaan shalat demikian banyaknya. Setiap muslim harusnya disibukkan dengan bai’at-bai’at yang telah diucapkan di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bukannya disibukkan untuk memikirkan bai’at-bai’at baru dalam setiap kelompoknya. Waktu kita terlalu sedikit untuk memaparkan bentuk-bentuk bai’at baru yang tidak dikenal di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti bai’at yang ada pada Ikhwanul Muslimin, Jamaah Jihad, LDII, Hizbut Tahrir, atau kelompok lainnya.

Menunaikan zakat
Adapun yang dimaksud dengan menunaikan zakat adalah menyerahkan zakat kepada yang berhak. Zakat adalah amalan yang terkait dengan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hak sesama manusia. Dikatakan terkait dengan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena zakat adalah sebuah kewajiban yang ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk kaum muslimin sekaligus salah satu dari rukun Islam. Dikatakan terkait dengan hak sesama manusia, karena zakat disyariatkan untuk membantu sesama di dalam menyelesaikan kebutuhan-kebutuhannya. Pembahasan zakat secara lengkap telah disampaikan dalam Asy-Syari’ah Vol. V/No. 54/1430H/2009.

Nush (berniat baik) kepada sesama muslim
An-Nush adalah nama lain untuk nasihat. Yang dimaksud dengan bersikap nush kepada sesama muslim telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhari-Muslim:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Belumlah sempurna keimanan salah seorang di antara kalian kecuali ia telah bersikap menginginkan kebaikan untuk saudaranya sebagaimana ia menginginkan kebaikan itu untuk dirinya sendiri.”
Sehingga setiap muslim berusaha agar saudaranya mendapatkan kebaikan seperti kebaikan yang ia rasakan, sebagaimana ia berusaha agar saudaranya terhindar dari keburukan layaknya ketika ia ingin terhindar dari keburukan tersebut. Ia merasa bahagia dengan kebahagiaan yang dirasakan saudaranya, serta turut merasakan kesedihan yang dirasakan oleh saudaranya. Ia bersikap baik kepada saudaranya sebagaimana ia menuntut saudaranya untuk bersikap baik terhadapnya.
Marilah kita melihat bentuk pengamalan sikap nush kepada sesama muslim yang ditunjukkan oleh Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu sebagai perawi hadits. Al-Imam Ath-Thabarani rahimahullahu meriwayatkan bahwa Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu pernah membeli seekor kuda senilai 300 dirham. Setelah dicoba, Jarir menemui si penjual dan mengatakan, “Sebenarnya kudamu lebih mahal dari harga yang engkau tetapkan. Bagaimana jika aku memberimu 400 dirham?” Si penjual menjawab, ”Itu terserah kamu, wahai Jarir.” Setelah dicoba untuk kedua kalinya, Jarir menyampaikan kepada si penjual bahwa, ”Kuda itu seharusnya diberi harga lebih dari 400 dirham. Maukah engkau jika aku memberimu 500 dirham?” Si penjual mengatakan, “Terserah kamu, wahai Jarir.” Kejadian ini terulang kembali hingga akhirnya Jarir memberikan 800 dirham kepada si penjual. Ketika ditanyakan kepada Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu tentang hal ini beliau menjawab, “Aku telah mengucapkan bai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bersikap nush kepada sesama muslim.”

Nush (berniat baik) kepada pemerintah
Terkait dengan keadaan kaum muslimin di akhir zaman ini, kiranya penting sekali untuk ditekankan perihal menyampaikan nasihat kepada pemerintah. Karena memberikan nasihat tidaklah sama caranya antara satu dengan yang lain. Menyampaikan nasihat kepada orangtua tentu berbeda dengan kepada tetangga. Sebagaimana berbeda pula antara memberikan nasihat kepada pemerintah dengan kepada masyarakat biasa. Kepada pemerintah hendaknya nasihat disampaikan dengan penuh kasih sayang dan kelembutan. Secara diam-diam dan rahasia, bukan dengan mengumbar aib dan kekurangan mereka di hadapan khalayak umum. Apalagi disebarkan melalui media massa.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan cara menyampaikan nasihat kepada pemerintah di dalam hadits ‘Iyadh bin Ghunm radhiyallahu ‘anhu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلَا يُبْدِهِ عَلَانِيَةً وَلَكِنْ يَأْخُذُ بِيَدِهِ فَيَخْلُوا بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ
“Barangsiapa yang ingin menyampaikan nasihat kepada penguasa janganlah menyampaikannya dengan terang-terangan. Hendaknya ia memegang tangan penguasa, jika penguasa mau menerima nasihat maka itulah yang diinginkan namun bila penguasa menolak maka ia telah menjalankan kewajibannya.” (HR. Ahmad, Ibnu Abi 'Ashim, dan yang lain. Hadits ini dishahihkan Al-Albani dalam Zhilal Al-Jannah hal. 507)
Dengan demikian, Islam tidak membenarkan aksi-aksi unjuk rasa dan demonstrasi untuk menentang kebijakan pemerintah, menyampaikan kritikan atau “aspirasi” rakyat kepada pemerintah. Cara-cara yang demikian termasuk tipu daya setan yang hanya akan memperburuk keadaan. Lihatlah contoh yang ditunjukkan oleh para sahabat di dalam atsar Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma, ketika ada seseorang yang menyampaikan kepada beliau, ”Mengapa anda tidak menemui Utsman untuk memberikan nasihat?” Maka Usamah menjawab, ”Apakah kalian menginginkan agar aku memberitahu kalian jika aku telah memberikan nasihat kepada Utsman? Demi Allah, aku telah berbicara dengan Utsman. Hanya aku dan dia saja.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Al-Imam Ahmad rahimahullahu menyebutkan atsar dari Sa’id bin Jahman, beliau berkata: Aku pernah menemui Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu ‘anhu (sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang telah buta. Setelah aku mengucapkan salam beliau bertanya, “Siapakah dirimu?” Aku menjawab, “Namaku Sa’id bin Jahman.” Lalu aku menceritakan tentang kezaliman dan kelaliman penguasa pada masa itu. Maka tanganku dipegang erat oleh Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu ‘anhu sambil mengatakan, ”Celaka engkau wahai Ibnu Jahman. Jika memang penguasa mau mendengarkan ucapanmu, maka datangilah rumahnya dan sampaikan kepadanya apa yang engkau ketahui. Jika ia menerima apa yang engkau sampaikan maka itulah yang diharapkan. Namun jika ia menolak, maka belum tentu engkau lebih mengetahui daripada penguasa.”
Al-Imam Ibnu An-Nahas rahimahullahu berkata, ”Berbicara dengan penguasa dengan cara diam-diam lebih dipilih daripada berbicara di hadapan khalayak umum. Bahkan semestinya ia berusaha untuk berbicara dengan penguasa secara rahasia dan menyampaikan nasihat dengan cara tersembunyi, sehingga tidak ada pihak ketiga yang mengetahuinya.” (Tanbihul Ghafilin hal. 64)
Maka seharusnya setiap muslim mengingat kembali janji-janji setia yang telah diucapkan melalui lisan para sahabat. Seharusnya setiap muslim menyibukkan diri untuk melaksanakan bai’at-bai’at yang telah diteguhkan oleh para sahabat. Bukannya mencari bentuk-bentuk bai’at baru yang ada pada kelompok dan firqahnya. Apakah kita tidak merasa cukup dengan bai’at-bai’at para sahabat?
Al-Ajurri rahimahullahu berkata, ”Tidak pantas seseorang dikatakan memiliki sikap nush bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin secara umum, melainkan ia harus memulai dengan dirinya terlebih dahulu. Bersungguh-sungguh di dalam menuntut ilmu dan fiqih agar ia mengetahui kewajiban-kewajiban yang dibebankan atasnya. Agar ia mengerti juga akan permusuhan setan kepada dirinya sehingga ia dapat berusaha untuk menghindar. Agar ia mengerti keburukan-keburukan yang diinginkan oleh jiwanya sehingga ia dapat mengusirnya dengan ilmu.” (Basha’ir Dzawit Tamyiz 5/67)
Wallahu a’lam bish-shawab.

Penulis : Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar
Selengkapnya...

Pentingnya Kebersamaan

0 komentar

Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Manusia membutuhkan kebersamaan dalam kehidupannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia beraneka ragam dan berbeda-beda tingkat sosialnya. Ada yang kuat, ada yang lemah, ada yang kaya, ada yang miskin, dan seterusnya. Demikian pula Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan manusia dengan keahlian dan kepandaian yang berbeda-beda pula. Semua itu adalah dalam rangka saling memberi dan saling mengambil manfaat. Orang kaya tidak dapat hidup tanpa orang miskin yang menjadi pembantunya, pegawainya, sopirnya, dan seterusnya. Demikian pula orang miskin tidak dapat hidup tanpa orang kaya yang mempekerjakan dan mengupahnya. Demikianlah seterusnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أَهُمْ يَقْسِمُوْنَ رَحْمَةَ رَبِّكَ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيْشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا وَرَحْمَةُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُوْنَ
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabbmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Rabbmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Az-Zukhruf: 32)



Kehidupan bermasyarakat sendiri tidak akan terwujud dengan sempurna kecuali dengan adanya seorang pemimpin dan kebersamaan. Oleh karena itulah, Islam begitu menekankan agar kaum muslimin bersatu dalam jamaah di bawah satu penguasa. Seorang mukmin dengan mukmin lainnya seperti sebuah bangunan, sebagian menopang sebagian yang lain.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Dinar, dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu 'anhuma bahwa dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di hadapan kami. Di antaranya beliau berkata:
...عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ وَإِيَّاكُمْ وَالْفُرْقَةَ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ، وَهُوَ مِنَ اْلاِثْنَيْنِ أَبْعَدُ، مَنْ أَرَادَ بُحْبُوْحَةَ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزَمِ الْجَمَاعَةَ، مَنْ سَرَّتْهُ حَسَنَاتُهُ وَسَاءَتْهُ سَيِّئَاتُهُ فَذَلِكَ الْمُؤْمِنُ
“…Wajib atas kalian untuk bersama dengan al-jamaah dan berhati-hatilah kalian dari perpecahan. Sesungguhnya setan bersama orang yang sendirian, sedangkan dari orang yang berdua dia lebih jauh. Barangsiapa yang menginginkan tengah-tengahnya (yang terbaiknya) surga maka hendaklah dia bersama jamaah. Barangsiapa yang kebaikan-kebaikannya menggembirakan dia dan kejelekan-kejelekannya menyusahkan dia, maka dia adalah seorang mukmin.” (Shahih, diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dalam Sunan-nya 4/465, cet. Musthafa Al-Babi, Mesir, cet. II. At-Tirmidzi berkata: “Ini adalah hadits hasan shahih.”; juga Al-Imam Ahmad rahimahullahu dalam Al-Musnad 1/18 cet. Al-Maktabul Islami Beirut. Dishahihkan oleh Ahmad Syakir rahimahullahu dalam Syarhul Musnad 1/112 cet. Darul Ma’arif, Mesir. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi ‘Ashim rahimahullahu dalam As-Sunnah dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Zhilalul Jannah cet. Al-Maktab Al-Islami Beirut cet. III, hal 42-43 dari jalan Muhammad bin Suqah, dari Abdullah bin Dinar, dari Ibnu ‘Umar.)
Sungguh indah kebersamaan dalam jamaah dan sungguh nikmat hidup dalam keteraturan di bawah satu penguasa. Sebagaimana dikatakan: Al-Jama’atu rahmah wal furqatu ‘adzab (kebersamaan adalah rahmat, sedangkan perpecahan adalah adzab). Oleh karena itulah Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang perpecahan dalam beberapa ayatnya. Di antaranya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
... وَلاَ تَكُوْنُوا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ. مِنَ الَّذِيْنَ فَرَّقُوا دِيْنَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُوْنَ
“…Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (Ar-Rum: 31-32)
Demikian pula Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (Ali ‘Imran: 103)
Di antara tafsir “tali Allah” selain Islam, Al-Qur`an dan As-Sunnah, adalah jamaah kaum muslimin dan penguasanya. Sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu bahwa ia berkata: “Wahai manusia, wajib atas kalian untuk taat dan tetap bersama jamaah, karena itulah tali Allah yang sangat kuat. Ketahuilah! Apa yang tidak kalian sukai bersama jamaah lebih baik daripada apa yang kalian sukai bersama perpecahan.” (Asy-Syari’ah karya Al-Ajurri rahimahullahu, hal. 23-24, cet. Darus Salam, Riyadh cet. I)
Tidak ada pertentangan antara tafsir tersebut dengan tafsir yang lainnya. Karena ayat tersebut memerintahkan kaum muslimin agar berpegang dengan ajaran Islam, dengan dasar Al-Qur`an dan As-Sunnah serta tetap bersama jamaah kaum muslimin dan penguasanya, agar tidak berpecah belah. Jika keluar dari salah satunya maka akan terjatuh dalam perpecahan. Sehingga, semuanya sama-sama merupakan tali Allah yang sangat kuat, yang mengikat mereka dalam kebersamaan.
Nikmatnya kebersamaan dalam satu jamaah dengan satu kepemimpinan telah dirasakan sejak zaman para shahabat dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemimpinnya. Maka ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, para sahabat segera membicarakan siapa khalifah yang akan menjadi pemimpin sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bukan karena mereka adalah para politikus yang berambisi menjadi penguasa –seperti yang dikatakan oleh kaum Syi’ah– tetapi karena mereka faham betul betapa pentingnya keberadaan seorang pemimpin dalam kebersamaan.
Tentunya kepemimpinan tanpa ketaatan adalah sesuatu yang sia-sia. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk menaati seorang yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala takdirkan sebagai penguasa.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا أَطِيْعُوا اللهَ وَأَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan pemerintah/penguasa di kalangan kalian.” (An-Nisa`: 59)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkan untuk menaati penguasa. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu 'anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
”Wajib atas setiap orang muslim untuk mendengar dan taat kepada penguasanya dalam apa yang dia sukai dan yang tidak dia sukai, kecuali jika dia diperintah untuk bermaksiat. Jika dia diperintah untuk bermaksiat maka tidak wajib baginya untuk mendengar dan taat.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya 13/121, cet. Maktabatur Riyadh Al-Haditsah, Riyadh; Muslim dalam Shahih-nya 3/1469, cet. Dar Ihya`it Turats Al-‘Arabi, Beirut, cet. I)
Diriwayatkan pula dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata:
مَنْ خَرَجَ مِنَ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ، مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa yang keluar dari ketaatan dan memisahkan diri dari jamaah kemudian dia mati, maka matinya mati jahiliah.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya 3/1476, 1477, cet. Dar Ihya`it Turats Al-‘Arabi, Beirut cet. I, dari jalan Ghailan bin Jarir, dari Abu Qais bin Rabah, dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)
Dalam hadits ini, orang yang tidak taat dan memisahkan diri dari jamaah dikatakan jahiliah. Demikian pula dalam ayat di atas, orang yang berpecah belah dikatakan seperti musyrikin. Hal ini karena orang tersebut seperti keadaan musyrikin di zaman jahiliah, yaitu masyarakat liar yang hidup tanpa keteraturan dan kepemimpinan1.
Perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menaati penguasa di atas adalah dalam rangka menjaga kebersamaan dalam jamaah dan tidak bercerai berai. Oleh karena itu, perintah tersebut tidak gugur dengan kezhaliman penguasa tersebut atau kekurangan-kekurangan dalam hal fisiknya. Karena hikmah dalam kebersamaan lebih besar daripada kezhaliman penguasa tersebut. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan untuk menaatinya walaupun penguasa itu bekas budak hitam yang cacat.
Diriwayatkan dari Abu Dzar radhiyallahu 'anhu bahwa ia berkata:
إِنَّ خَلِيْلِيْ أَوْصَانِي أَنْ أَسْمَعَ وَأُطِيْعَ، وَإِنْ كَانَ عَبْدًا مُجَدَّعَ اْلأَطْرَافِ
“Kekasihku (yakni Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) telah mewasiatkan kepadaku agar aku mendengar dan taat, walaupun yang berkuasa adalah bekas budak yang terpotong hidungnya (cacat).” (HR. Muslim dalam Shahih-nya 3/467, cet. Dar Ihya`it Turats Al-‘Arabi, Beirut; dan Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad hal. 54, cet. ‘Alamul Kutub, Beirut, cet. II)
Kalimat mujadda’ bermakna terpotong anggota badannya atau cacat, seperti terpotong telinga, hidung, atau tangan dan kakinya. Namun seringkali kalimat mujadda’ dipakai dengan maksud terpotong hidungnya. Sedangkan mujadda’ul athraf, Ibnu Atsir rahimahullahu berkata dalam An-Nihayah: “Maknanya adalah terpotong-potong anggota badannya, di-tasydid-kan huruf dal-nya untuk menunjukkan banyak.”
Demikian pula riwayat dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu yang memerintahkan kita untuk taat pada penguasa, walaupun seorang bekas budak hitam yang kepalanya seperti kismis. Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوْا وَإِنِ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيْبَةٌ
“Dengar dan taatilah walaupun yang dipilih sebagai penguasa kalian adalah budak dari Habasyah yang kepalanya seperti kismis (anggur kering).” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya 13/121 cet. Maktabatur Riyadh Al-Haditsiyyah, Riyadh; Ibnu Majah dalam Sunan-nya 2/955 cet. Fuad Abdul Baqi; Ahmad dalam Al-Musnad, 3/114, cet. Al-Maktabul Islami, Beirut)
Bahkan perintah ini tidak gugur walaupun penguasa tersebut zhalim, merampas harta rakyat dan menindas, selama dia masih muslim. Dikisahkan oleh ‘Adi bin Hatim radhiyallahu 'anhu:
قُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، لاَ نَسْأَلُكَ عَنْ طَاعَةِ التَّقِيِّ وَلَكِنْ مَنْ فَعَلَ وَفَعَلَ (وَذَكَرَ الشَّرَّ)؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اتَّقُوْا اللهَ وَاسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوْا
Kami katakan: “Wahai Rasulullah, kami tidak bertanya tentang ketaatan kepada orang yang bertakwa, tetapi penguasa yang berbuat begini dan begitu –dia menyebutkan kejelekan-kejelekan–?” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bertakwalah kepada Allah, dan dengarlah dan taatlah kalian kepadanya!” (Hadits hasan lighairihi, diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah, 2/494 cet. Al-Maktabul Islami Beirut cet. II, dari jalan ‘Utsman bin Qais Al-Kindi, dari ayahnya, dari ‘Adi bin Hatim. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Zhilalul Jannah cet. Al-Maktab Al-Islami, Beirut cet. III, hal. 494)
Lebih dahsyat lagi, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menggambarkan akan munculnya seorang penguasa yang hatinya seperti hati setan dalam tubuh manusia. Disebutkan dalam hadits Hudzaifah radhiyallahu 'anhu sebagai berikut:
قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّا كُنَّا بِشَرٍّ فَجَاءَ اللهُ بِخَيْرٍ فَنَحْنُ فِيْهِ، فَهَلْ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ؟ قَالَ: نَعَمْ.قُلْتُ: هَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الشَّرِّ خَيْرٌ؟ قال: نعم. قُلْتُ: هَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الْخَيْرِ شَرٌّ؟ قَالَ: نَعَمْ. قُلْتُ: كَيْفَ؟ قَالَ: يَكُوْنُوْا بَعْدِيْ أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُوْنَ بِهُدَايَ وَلاَ يَسْتَنُّوْنَ بِسُنَّتِيْ، سَيَقُوْمُ فِيْهِمْ رِجَالٌ قُلُوْبُهُمْ قُلُوْبُ الشَّيَاطِيْنِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ. قَالَ: قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟ قَالَ: تَسْمَعُ وَتُطِيْعُ لِلْأَمِيْرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ!
Aku mengatakan: “Ya Rasulullah, sesungguhnya kami dahulu dalam keadaan jelek kemudian Allah mendatangkan kebaikan ini, dan kami berada di dalamnya. Maka apakah setelah kebaikan ini ada kejelekan?” Beliau berkata: “Ya.” Aku berkata: “Apakah setelah kejelekan itu ada kebaikan?” Beliau berkata: “Ya.” Aku berkata: “Apakah setelah kebaikan ini ada kejelekan?” Beliau berkata: “Ya.” Aku berkata: “Bagaimana itu?” Beliau berkata: “Akan ada setelahku penguasa-penguasa yang tidak mengikuti petunjukku dan tidak bersunnah dengan sunnahku. Akan muncul di tengah mereka para lelaki yang hati-hati mereka adalah hati-hati setan dalam tubuh-tubuh manusia.” Aku berkata: “Apa yang mesti saya perbuat jika mengalami keadaan itu?” Beliau berkata: “Dengar dan taatlah pada penguasa walaupun punggungmu dipukul dan hartamu dirampas! Dengarlah dan taatilah.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya 13/111, cet. Maktabatur Riyadh Al-Haditsiyyah, Riyadh; Muslim dalam Shahih-nya 3/1476 cet. Dar Ihya`it Turats Al-‘Arabi, Beirut cet. I; Ibnu Majah dalam Sunan-nya, 2/1317 cet. Fuad Abdul Baqi, dari jalan Busr bin Ubaidillah Al-Hadhrami, dari Abu Idris Al-Khaulani, dari Hudzaifah radhiyallahu 'anhu)
Perhatikanlah! Hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas bukan membela para penguasa yang jahat dan zhalim. Tetapi menunjukkan betapa pentingnya kebersamaan di bawah kepemimpinan seorang penguasa. Bisa dibayangkan, betapa jeleknya seorang yang meruntuhkan atau merusak kebersamaan ini dengan sikap menentang penguasa muslim, memberontak dan memeranginya.
Memang kebanyakan orang yang merusak kebersamaan ini berniat baik, yaitu mengingkari kemungkaran. Tetapi kenyataannya, mereka mengganti kemungkaran dengan kemungkaran yang lebih besar. Mereka mengganti kezhaliman penguasa dengan perang saudara sesama muslim. Atau mengganti keteraturan dan kepemimpinan dengan kekacauan dan pertumpahan darah. Apakah ini sebuah hikmah? Ataukah ini suatu kebodohan yang nyata?!
Diriwayatkan oleh Al-Ajurri rahimahullahu dalam kitabnya Asy-Syari’ah dengan sanadnya, bahwa ketika disampaikan kepada Al-Hasan radhiyallahu 'anhu tentang Khawarij (para pemberontak) yang telah muncul di Khuraibiyyah (daerah Bashrah), beliau berkata: “Kasihan mereka. Mereka melihat kemungkaran kemudian mengingkarinya, ternyata mereka terjerumus dalam kemungkaran yang lebih besar.” (Asy-Syari’ah, hal. 38, cet. Darus Salam, Riyadh, cet. I)
Wallahu a’lam.

Penulis : Al-Ustadz Muhammad Umar As-Sewed
Selengkapnya...

© created by : Dwi Wahono 2010